Pagi itu, dalam kesempatan
ngobrol sambil makan bersama, seorang sahabat bercerita mengenai rasa
jengkelnya. Rasa jengkel itu muncul karena dia dan lembaga yang dia pimpin
dicap tidak peduli terhadap nasib orang miskin. “Bagaimana mungkin saya dinilai
tidak mencintai orang miskin? Setiap tahun – kalau dihitung – saya mengeluarkan
sedikitnya 300 juta untuk orang miskin.” “Oh… berarti kamu mengukur cinta
kepada orang miskin dengan seberapa rupiah yang kamu keluarkan?” Pikirku dalam
hati. Dengan pola pikir ini rasanya kita tidak terlalu sulit untuk membuat
kesimpulan tentang sikap kita terhadap orang miskin: semakin sedikit uang dan
barang yang kita berikan kepada orang miskin, maka semakin kecil pula rasa
cinta kita kepada orang miskin. Sebaliknya, kita dapat dikatakan mencintai
orang miskin jika semakin besar jumlah uang dan barang yang kita sumbangkan
untuk menopang hidup orang miskin.
Benarkah demikian? Bernarkah uang
dan barang itu adalah ukuran utama untuk mengatakan bahwa saya mencintai orang
miskin atau tidak? Kalau itu benar, maka selama saya tidak memiliki uang dan
barang, maka saya pasti tidak bisa dikatakan mencintai orang miskin. Dan
sebaliknya saya akan dapat dikatakan mencintai orang miskin, jika saya
mempunyai uang dan atau barang yang bisa saya sumbangkan untuk orang miskin.
Logika ini sekurang-kurangnya
semakin menyadarkan saya akan fenomena yang sering terjadi saat ini. Bukan
hanya sahabat saya, ternyata mayoritas orang jaman sekarang seringkali mengukur
partisipasinya dalam kehidupan orang lain, terutama mereka yang miskin, dengan
pemberian materi. Dan logika inilah yang menghantarkan orang-orang jaman ini
dalam keengganan untuk memasuki kehidupan orang miskin. Keengganan ini biasanya
disertai banyak alasan. Misalnya: saya sibuk, tidak punya waktu, itu bukan
tugas saya, dan seterusnya.
Tidak hanya berkaitan dengan
keengganan, tetapi logika di atas seringkali menjebak kita pada sikap-sikap
mengadili orang miskin, keputus-asaan, dan seterusnya. Ada sahabat lain pernah
bercerita: “menolong orang miskin… untuk apa? Saya sudah mengorbankan puluhan
juta, tetapi ternyata orang miskin masih tetap miskin. Rasanya sia-sia saya
mengorbankan banyak hal untuk orang miskin”. Inilah efek yang langsung kentara
jika kita mengukur keterlibatan dalam hidup orang miskin dengan uang dan
materi. Kita akan merasa sia-sia. Putus asa. Dan mungkin justru akan membenci
orang miskin.
Apakah memberi uang dan materi
kepada orang miskin itu salah? Tidak. Tetapi uang dan materi tidak bisa secara
serta merta dijadikan patokan dalam pelayanan kepada orang miskin. Seorang
tokoh Jerman, Frederic Williem Raiffeisen mengatakan: “Yang bisa menolong orang
miskin adalah orang miskin itu sendiri!” Kalau kita setuju dengan pendapat
Frederic, maka uang dan materi yang kita berikan kepada orang miskin sebenarnya
hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor pelayanan atau keterlibatan dalam
kehidupan orang miskin. Di atas uang dan materi ada faktor yang lebih mendasar,
yaitu orang miskin itu sendiri. Frederic hendak mengatakan bahwa kalau kita ingin
menolong orang miskin, maka faktor pertama yang harus menjadi fokus perhatian
kita adalah orang miskin itu sendiri, dan bukan uang atau barang. Mengapa
demikian? Ya tentu saja karena orang miskin adalah subjek atau pelaku utama
perubahan. Kita tidak mungkin merubah orang miskin. Maka yang mungkin untuk
kita lakukan adalah mengupayakan piranti-piranti yang meniscayakan orang miskin
untuk bangkit, tumbuh dan berkembang. Sudah barang pasti, agenda ini tidak bisa
kita tempuh hanya melalui pemberian uang dan barang. Kebangkitan, komitmen
untuk tumbuh kembang akan menjadi keniscayaan jika kita sungguh-sungguh masuk
dalam dunia dan kehidupan orang miskin. Dan untuk itu tidak bisa tidak kita
harus berjumpa dengan orang miskin.
Apa pentingnya perjumpaan? Seperti
halnya perjumpaan-perjumpaan pada umumnya, perjumpaan dengan orang miskin akan
menghantar kita pada dialog kehidupan. Saling berbagi. Saling mendengarkan.
Saling belajar dan memberi inspirasi. Saling memupuk empati. Tataran paling
mendalam dari perjumpaan adalah lahirnya benih-benih relasi yang didasari
ketulusan kasih cinta yang saling menumbuhkan dan memberdayakan. Kalau
perjumpaan sudah mencetuskan benih-benih kasih cinta, maka relasi dengan orang
miskin niscaya bukan lagi merupakan relasi subjek (saya sebagai manusia) dengan
objek (orang miskin yang harus dimanusiakan). Sebaliknya relasi dengan orang
miskin akan menjadi relasi subjek (manusia) dengan subjek (manusia) yang
setara.
Setara. Apa maksudnya? Seringkali
orang miskin, karena kemiskinannya, kita anggap sebagai pribadi yang
martabatnya lebih rendah dari kita. Padahal yang terjadi hanyalah “nasib” yang
berbeda. Kita lebih beruntung, lebih kaya, dan seterusnya. Sementara orang
miskin tidak beruntung, lebih miskin dari kita. Kondisi (nasib) yang berbeda
tentu tidak bisa langsung digunakan sebagai pondasi untuk mengatakan bahwa
martabat kita berbeda. Kita yang berada dalam situasi hidup yang lebih baik
adalah manusia. Orang miskin yang hidup miskin juga adalah manusia. Maka apa
yang membuat kita berpandangan bahwa kita lebih superior dan orang miskin lebih
inferior? Tentu tidak ada alasan yang sangat mendasar dalam hal ini. Kita dan
orang miskin sesungguhnya memiliki martabat yang sama. Kita dan orang miskin
sebenarnya memiliki kesetaraan.
Inilah sesungguhnya pondasi yang
harus kita tanamkan dalam diri kita jika kita hendak melakukan pelayanan dan
berelasi dengan orang miskin. Pondasi relasi dengan orang miskin adalah cinta,
dan bukan uang atau barang. Pondasi relasi dengan orang miskin adalah keyakinan
bahwa saya dan orang miskin adalah manusia yang memiliki kesamaan martabat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !