Binatang ini biasa disebut “BUNGLON” (mungkin
ini bahasa Jawa). Kata “BUNGLON” sering digunakan untuk merujuk sebuah konotasi
negatif karakter seseorang. Jika seseorang dikatakan “seperti bunglon”, artinya
orang itu sedang diberi label sebagai pribadi yang tidak berpendirian, “mencla-mencle”,
plin-plan, dan semacamnya.
Bunglon, dalam khazanah relasi, seringkali
memang mengandung konotasi negatif. Tetapi jika kita bersedia melihat dari
perspektif yang berbeda, bunglon sebenarnya memiliki arti positif, arti yang justru
merupakan keutamaan hidup yang harus kita junjung tinggi.
Salah satu ciri khas bunglon ialah dia akan
merubah warna kulitnya serupa dengan medan atau media di mana dia sedang
berada. Jika ia berada di media yang
berwarna hijau, maka kulit bunglon akan berwarna hijau. Jika ia berada di media
yang berwana coklat, maka kulit bunglon akan berubah menjadi coklat. Strategi
perubahan warna kulit sesuai dengan media ini, akan dilakukan seekor bunglon,
terutama ketika dia berhadapan dengan bahaya yang mengancam dirinya.
Bunglon, dengan ciri khasnya, mengajari kita
perihal keutamaan “melebur diri”. Dengan dialog singkat berikut mungkin kita
akan lebih mudah memahami apa artinya keutamaan “melebur diri”.
A. “Sadarkah kamu bahwa aku sungguh
mencintaimu?”
B. “Iya ak sadar sepenuhnya. Ak sama
sekali tidak pernah meragukan cintamu ke aku.”
A. “Kalau begitu, mengapa kamu selalu
protes ke aku, kenapa tindakanku selalu salah di matamu? Sadarkah kamu bahwa
aku berkorban, melakukan ini dan itu, semuanya untuk kamu? Semuanya demi
kebahagiaanmu?”
B. “Aku menyadari sepenuhnya semua itu.
Ak menyadari semua maksud dan tujuan yang ingin kamu perlihatkan, seperti yang baru
saja kamu katakan tadi.”
A. “Kalau kamu sadar bahwa aku sungguh
mencintai kamu, bahwa aku telah berkorban untuk kebahagiaanmu, lantas sekarang
apa yang membuat kamu selalu tidak berkenan dengan kehadiranku? Apakah kamu
tidak mencintai aku? Apakah cintaku bertepuk sebelah tangan?
B. “Sama seperti kamu mencintai aku,
begitu juga sebaliknya. Aku sangat mencintai kamu.”
A. "Kalau kamu mencintai aku, sekarang
katakan, mengapa kamu tidak pernah menghargai kehadiranku? Kenapa kamu selalu
memperlakukan aku seolah-olah kamu begitu membenci aku?”
B. “Sumber persoalannya bukan soal aku
mencintai kamu, atau kamu mencintai aku. Dalam perihal “mencintai” kita berada
pada porsi yang sama. Hal utama yang menjadi kunci ketidak-harmonisan relasi kita
selama ini ialah ‘CARAMU” dalam menterjemahkan cinta. Mencintai itu bukan
sekedar aku melakukan ini dan itu, bukan sekedar mengorbankan segala-galanya
untuk orang yang dicintai. Mencintai itu memerlukan CARA, yaitu cara yang tentu
saja sesuai dan bisa diterima oleh orang yang dicintai.
Pada penghujung dialog singkat di atas,
kira-kira kita bisa menemukan arti dari keutamaan melebur diri. Banyak relasi
menjadi tidak harmonis, bukan karena mereka tidak saling mencintai. Sebaliknya,
ketidak-harmonisan relasi seringkali bersumber pada cara yang salah dalam
menterjemahkan cinta. Mencintai sekali lagi memerlukan apa yang disebut dengan keutamaan
melebur diri.
Melebur diri, artinya kita harus memiliki
konsistensi untuk meninggalkan zona nyaman kita, dan masuk dalam zona yang
dimiliki oleh orang lain. Dan inilah sebenarnya prinsip terdalam dari sebuah
Cinta. Cinta pada point yang terdalam selalu berarti rela kehilangan diri. Cinta
selalu berarti pengosongan diri. Kehilangan diri, mengosongkan diri demi
kedalaman kegembiraan dan kebahagian orang-orang disekitar kita yang kita
cintai. Jika ada dua insan yang saling mencintai, dan keduanya setia
mengejawantahkan prinsip ini, maka tidak ada kata lain yang niscaya akan
diungkapkan selain kata “AK SANGAT BAHAGIA”, dan itu terungkap masing-masing
dari KEDUANYA.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !